Hidup memang bukan sekadar tentang apa yang kita rencanakan. Ia juga tentang ujian yang datang tiba-tiba, memaksa kita bertekuk lutut, bahkan kadang sampai merasa tak sanggup berdiri. Dan aku pernah sampai di titik itu—titik terendah dalam hidupku.
Putraku lahir saat usiaku genap 24 tahun. Saat itu, aku merasa memiliki segalanya untuk mulai menapaki tangga kehidupan yang lebih tinggi: rumah tangga yang baru, semangat hidup yang membara, dan cita-cita yang belum padam. Tapi Tuhan punya cara sendiri untuk mendidik dan menempa hamba-Nya. Tepat ketika anakku berusia sekitar lima bulan, tubuhku mulai memberontak.
Sakit itu datang tanpa aba-aba. Awalnya terasa biasa, tapi kemudian berkembang menjadi penderitaan yang tak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Pembuluh darah di tulang tunggingku menyempit, tepat di dekat tulang ekor. Tubuhku tak bisa dibuat duduk, berbaring pun tak mampu. Satu-satunya posisi yang mungkin hanyalah “melungker”—menekuk tubuh seperti janin, menahan nyeri yang terus menggigit tanpa henti.
Segala usaha medis dan alternatif sudah aku tempuh. Dari rumah sakit hingga pengobatan tradisional, dari terapi hingga rukyah, tak ada hasil yang benar-benar berarti. Hingga akhirnya aku berkata dalam hati, “Biarlah tubuh ini cacat saja, tak mengapa. Jika ini takdirku, aku terima.”
Tapi Tuhan masih mengujiku lebih dalam.
Pernah suatu malam, nyeri itu datang begitu dahsyat. Mulai dari waktu Maghrib hingga Subuh, rasa sakit itu menusuk tanpa henti—tanpa jeda. Bayangkan, satu malam penuh menahan derita tanpa ada ruang untuk sekadar bernafas lega. Dalam kondisi seperti itu, aku hanya bisa berbisik dalam tangis, “Ya Tuhan, ini dari-Mu. Aku terima. Aku ikhlas. Bila saatnya tiba aku kembali pada-Mu, maka ampunilah aku…”
Beberapa orang menyarankan bahwa mungkin aku sedang terkena “gangguan”, bahkan ada yang menduga ini adalah kiriman atau tumbal. Hatiku saat itu hanya bergumam lirih, “Kalaupun benar aku dikalahkan oleh sesuatu yang tak kasat mata, aku terima kekalahanku, aku hormati itu…”
Tapi di tengah keputusasaan itu, ada satu suara kecil dari dalam jiwaku yang menolak menyerah. Bisikan batin itu berkata: “Bisakah aku tidak kalah? Jika ini ujian spiritual, aku harus melawannya.”
Dan aku pun mengambil keputusan.
Aku memutuskan untuk melawan dengan caraku sendiri: tidak tidur sama sekali. Selama aku bisa, mataku akan tetap terjaga. Dan selama aku terjaga, lisanku tak akan berhenti berdzikir—menyebut nama Allah terus-menerus, tanpa putus. Aku ingin membuktikan bahwa hanya kepada Allah tempatku berlindung, bukan kepada yang lain.
Tiga hari tiga malam aku jalani riyadhah ini. Tubuhku melemah, tapi aku terus berdzikir. Hingga pada akhirnya, tubuhku tak mampu lagi, dan aku tertidur dalam kelelahan.
Di dalam mimpi, aku melihat orang-orang aneh. Wajah mereka asing, tapi mereka datang seakan membawa pesan, lalu pergi meninggalkanku. Dan saat aku terbangun, ada sesuatu yang berbeda. Badanku terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama yakni persis setahun (12 bulan), aku bisa mlulet—menggeliatkan badan. Hal yang dulu mustahil, kini menjadi kenyataan.
Aku lanjutkan ikhtiarku dengan terapi gerakan-gerakan sholat. Perlahan tapi pasti, tubuhku merespons. Satu demi satu nyeri itu surut. Dan akhirnya, aku sembuh.
Tanpa operasi, tanpa obat-obatan, tanpa bantuan ritual-ritual yang penuh keraguan. Aku sembuh karena doa. Karena dzikir. Karena rahmat Allah.
Bagi orang lain, mungkin ini hanya kebetulan medis. Tapi bagiku, ini adalah mukjizat, karomah kecil yang Tuhan tunjukkan padaku. Sebuah keajaiban yang mengokohkan kembali tauhidku. Bahwa penyembuh sejati hanyalah Allah.
Aku menyebut masa ini sebagai titik nol kehidupanku, titik di mana semua runtuh, dan aku dibangun kembali dengan jiwa yang lebih kuat. Sejak saat itu, aku memandang hidup sebagai anugerah kedua. Setiap napas adalah karunia. Setiap hari adalah kesempatan untuk bersyukur, untuk semakin dekat kepada-Nya.
Dan kini, aku tahu: tidak ada kekuatan lain yang benar-benar bisa menyelamatkan kecuali Tuhan. Tidak ada doa yang sia-sia bila lahir dari hati yang jujur dan pasrah. Tidak ada sakit yang lebih kuat dari kekuatan iman.
By: Andik Irawan